PDB is Positioning, Differentiation and Brand

INTI dari marketing sebenarnya adalah Positioning, Differentiation, dan Brand (PDB). Ya, marketing itu bukan sekadar Marketing-Mix atau yang dikenal juga sebagai 4P (product-price-place-promotion). Sebab, marketing-mix tanpa PDB jadinya bersifat komoditas dan me-too saja, bisa dengan mudah ditiru oleh pesaing. Juga bukan Segmentation-Targeting-Positioning (STP) semata, walaupun ini juga penting. Sebab, Positioning yang tidak didukung Differentiation yang solid akan percuma.

Cuma sekadar janji kosong. Banyak orang yang juga masih salah paham, dikiranya marketing itu identik dengan Selling. Karena banyak orang yang kerjaannya jualan (selling), tapi di kartu namanya tertera posisi sebagai marketing. Lebih repot lagi ketika orang mulai menganggap bahwa marketing adalah A&P alias Advertising and Promotion. Orang jadi takut mendengar istilah marketing, karena kuatir akan menghabiskan banyak uang namun hasilnya belum jelas, spend money for nothing. Belum lagi kekacauan pengertian Marketing Public Relations (MPR), di mana public relations (PR) seolah-olah untuk membangun citra (image), sementara marketing untuk jualannya. Event-event MPR mesti ada sponsorship plus berjualan langsung di tempat. Bagi saya, itu semua salah kaprah. Saya sendiri dalam buku-buku yang saya tulis dengan Philip Kotler selalu mengatakan bahwa yang namanya Marketing itu sebenarnya ada 9 elemen—yang terdiri dari 3 elemen Strategi, 3 elemen Taktik, dan 3 elemen Value—dengan PDB sebagai intinya. Tiga elemen Strategi adalah Segmentation, Targeting, dan Positioning (STP), dengan Positioning sebagai intinya. Tiga elemen Taktik adalah Differentiation, Marketing-Mix, dan Selling (DMS), dengan Differentiation sebagai intinya. Sementara tiga elemen Value adalah Brand, Service, dan Process (BSP), dengan Brand sebagai intinya. Inti strategi marketing dari sebuah perusahaan mencakup PDB ini. Pertama adalah bagaimana kita mampu secara tepat memposisikan produk, merek, atau perusahaan kita di benak pelanggan. Kedua, bagaimana kita bisa menopang positioning yang tepat ini dengan diferensiasi yang kokoh. Dan ketiga, kalau kita sudah mampu memposisikan diri secara tepat dan mem-back-up-nya dengan diferensiasi yang kokoh, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana kita membangun brand kita secara berkelanjutan. Walaupun intinya memang PDB, namun kesembilan elemen marketing tadi tetap memiliki peran masing-masing yang tidak kalah pentingnya. Sebuah program marketing haruslah tetap mempraktikkan kesembilan elemen itu secara komprehensif, tanpa kecuali. Artinya, suatu pernyataan positioning harus sesuai dengan segmen yang ditetapkan dan sesuai dengan target yang dituju. Juga, differentiation harus tetap diterjemahkan secara kreatif ke dalam marketing-mix dan dipahami oleh para salesman. Begitu pula brand value harus terus ditingkatkan oleh servis yang memuaskan dan process yang efisien. Jadi, PDB memang harus kuat, namun tetap tidak boleh terpisah dari elemen lainnya. Sekarang ini sudah banyak orang dari berbagai kalangan non-bisnis seperti artis, politisi, akademisi, dan sebagainya yang menggunakan PDB. Model ini memang sederhana tapi solid sehingga bisa diterapkan oleh banyak orang yang awam marketing sekali pun. Saya sendiri selalu menggunakan PDB ini pada berbagai kesempatan, bukan cuma di Indonesia tapi juga di luar negeri. Misalnya ketika saya mengajar di Nanyang Business School Singapura, Universiti Putra Malaysia tempat saya kebetulan juga jadi Adjunct Professor, dan juga di University of St. Gallen Swiss. Atau seperti ketika saya mengajar di Sekolah Staf Perwira Tinggi (Sespati) Polri dan Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sesdilu) untuk diplomat-diplomat di Departemen Luar Negeri. Semua kasus sukses kalau dianalisis pasti ada PDB yang solid, baik pelakunya melakukannya secara sengaja atau tanpa sengaja, baik ia mengerti atau tidak mengerti teorinya. Itu tidak terlalu penting. Yang lebih penting ia sudah menerapkan PDB ini, baik diakui maupun tidak. Di Indonesia, kasus-kasus marketing yang sukses seperti Lux, Lifebuoy, Toyota Kijang terlihat memiliki PDB yang solid. Sementara, kasus Timor menunjukkan bahwa perusahaan ini gagal karena PDB-nya tidak jelas. Perumusan positioning sebagai mobil nasional ternyata tidak didukung oleh diferensiasi yang kuat. Selain itu, kondisi politik waktu itu juga cukup berpengaruh. Jadi, sengaja atau tidak, sadar atau tidak, bahkan tahu atau tidak, tapi di balik semua kisah sukses di era Legacy Marketing saja pasti ada PDB yang solid. Apalagi di era New Wave Marketing saat ini. --- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas -- Hermawan Kartajaya

Tidak ada komentar: