Krisis Keuangan, Belajar dari Sejarah

Nurfajri Budi Nugroho - Okezone Krisis keuangan kembali menghantam dunia. Krisis kali ini diawali oleh kekacauan pada pasar kredit, yang meluas hingga mengacaukan stabilitas di pasas modal. Kini, tak kurang beratus-ratus dana talangan dikucurkan pemerintah sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan Jepang. Krisis keuangan pernah beberapa kali menghantam perekonomian dunia. Seharusnya, krisis yang pernah terjadi sebelumnya bisa dijadikan pelajaran untuk mengatasi krisis yang terjadi saat ini. Dikutip dari BBC, beberapa pelajaran yang bisa diambil antara lain: pertama, globalisasi telah meningkatkan frekuensi dan penyebaran krisis keuangan; kedua, intervensi sejak awal oleh bank sentral cukup efektif membatasi perluasan krisis, dibandingkan intervensi yang datang terlambat; ketiga, untuk saat ini sulit diprediksi apakah krisis akan memperluas konsekuensi dari perekonomian. Berikut catatan krisis yang pernah terjadi, dalam hitungan mundur:

Kehancuran Bisnis Dot.Com, 2000 Selama akhir 1990-an, bursa saham dibohongi oleh pertumbuhan perusahaan internet seperti Amazon dan AOL, yang seakan-akan menjadi mengantarkan dunia kepada era baru perekonomian. Steve Case, bos AOL, saat mengumumkan pembelian Time WarnerSaham-saham perusahaan dot com melambung tinggi saat listing di bursa Nasdaq, meski kenyataannya hanya sedikit perusahaan yang menghasilkan laba. Guncangan mencapai puncaknya ketika AOL membeli perusahaan media tradisional Time Warner seharga USD200 miliar pada Januari 2000. Namun pada Maret 2000, gelembung bisnis dot com pecah, dan membuat indeks Nasdaq jatuh hingga 78 persen pada Oktober 2002. Krisis perekonomian terus memburuk, yang diikuti kejatuhan investasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Krisis itu semakin diperburuk oleh serangan 11 September, yang juga membuat pasar keuangan ditutup untuk beberapa waktu. Long-Term Capital Management, 1998 Kolapsnya perusahaan dana lindung nilai (hedge fund) Long-Term Capital Market *LTCM) terjadi selama tahap akhir krisis keuangan dunia, yang dimulai di Asia pada 1997 dan meluas ke Rusia dan Brasil pada 1998. LTCM merupakan perusahaan hedge fund yang didirikan pemenang Nobel Myron Scholes dan Robert Merton untuk menjual-belikan oblikasi. Kedua profesor itu yakin dalam jangka panjang, suku bunga obligasi pemerintahan yang berbeda akan saling konvergen (menyatu), dan perusahaan dana lindung nilai hanya memperjualbelikan perbedaan tingkat suku bunga ini saja. John Meriwether, bos LTCMNamun ketika Rusia gagal membayar obligasinya pada Agustus 1998, investor melarikan modalnya ke obligasi Departemen Keuangan AS. Akibatnya, perbedaan suku bunga di antara obligasi yang ada meningkat tajam. LTCM yang telah meminjam banyak uang dari perusahaan lain, akhirnya mengalami rugi miliaran dolar. Dan dalam rangka untuk melikuidasi posisinya, perusahaan itu menjual obligasi Departemen Keuangan AS, dan membuat pasar kredit AS terperosok dan memaksa kenaikan tingkat suku bunga. Upaya penyelamatan kemudian dilakukan Bank Sentral AS (The Fed) dengan mendorong bank-bank terkemuka di AS, yang kebanyakan memiliki investasi di LTCM, untuk menaruh dana senilai USD3,6 miliar guna menyelamatkan persahaan itu dari kolaps. The Fed pun kemudian memangkas suku bunganya pada Oktober 1998, dan pasar kemudian kembali stabil. LTCM sendiri kemudian dilikuidasi pada 2000. Krisis 1987 Pasar saham AS menderita kejatuhan terbesar dalam sehari pada 19 Oktober 1987, saat indeks Dow Jones terpuruk 22 persen, yang diikuti pasar Eropa dan Jepang. Kerugian dipicu meluasnya keyakinan bahwa para pelaku insider trading dan pengambilalihan perusahaan menggunakan dana hasil utang telah mendominasi pasar, di saat perekonomian AS memasuki perlambatan ekonomi. Saat itu muncul pula kekhawatiran nilai dolar yang terus menurun di pasar internasional. Ketakutan terus tumbuh saat jerman menaikkan suku bunganya, dan mendorong nilai mata uangnya naik. Sistem perdagangan terkomputerisasi yang baru diperkenalkan turut memperparah kejatuhan pasar saham, lantaran perintah penjualan dilakukan secara automatis. Krisis ini menunjukkan bahwa pasar saham global saat ini saling terhubung, dan perubahan ekonomi di satu negara dapat mempengaruhi pasar di seluruh dunia. Aturan mengenai insider trading juga diperketat di AS dan Inggris. Skandal Tabungan dan Pinjaman AS, 1985 Lembaga simpanan dan pinjaman AS merupakan bank lokal yang memberikan pinjaman rumah tangga dan mengambil simpanan dari investor ritel, mirip dengan institusi pengembangan masyarakat di Inggris. Di bawah deregulasi keuangan pada 1980-an, bank-bank lokal ini diperbolehkan terlibat lebih jauh, dan terkadang tidak bijak, untuk melakukan transaksi keuangan dan bersaing dengan bank komersial besar. Pada 1985, banyak dari lembaga itu bankrut. Penarikan dana besar-besaran terjadi pada lembaga simpan-pinjam di Ohio dan Maryland. Pemerintah AS pun akhirnya menjamin sipanan dan terdapat kewajiban keuangan yang besar ketika mereka kolaps. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan Resolution Trust Company untuk mengambil alih dan menjual aset institusi simpan-pinjam. Krisis 1929 Krisis yang terjadi pada 1929 -dikenal dengan Black Thursday- merupakan kejadian yang membuat perekonomian AS dan global berada dalam kekacauan, dan menimbulkan Great Depression pada 1930-an. Setelah meningkatnya aksi spekulatif pada akhir 1920-an, terutama oleh kenaikan industri seperti penyiaran radioa dan pembuat mobil, harga saham jatuh hingga 13 persen pada Kamis 24 Oktober. Franklin D RooseveltMeskipun telah ada upaya dari otoritas pasar modal untuk menstabilkan pasar, harga saham jatuh 11 persen pada Selasa 29 Oktober. Saat itu, pasar mencapai titik terendahnya pada 1932, di mana 90 persen nilai saham telah hilang. Butuh waktu 25 tahun sampai akhirnya Dow Jones pulih ke level sebelum 1929. Dampak kehancuran itu terhadap sektor riil sangat beragam, di mana kehilangan kepemilihan saham yang meluas berarti kerugian yang dialami konsumen kelas menengah. Konsumen mengurangi belanjanya seperti mobil dan rumah, sementara sektor bisnis menunda investasi dan menutup pabrik mereka. Pada 1932, perekonomian AS turun hingga separuhnya, dan sepertiga angkatan kerja menjadi pengangguran. Seluruh sistem keuangan AS juga hancur, dengan ditutupnya seluruh sistem perbankan pada 1933 oleh presiden yang baru naik, Franklin Roosevelt. Saat itu Roosevelt mengeluarkan kebijakan New Deal. Overend & Gurney, 1866; dan Barings, 1890 Kegagalan bank utama di London pada 1866 membawa perubahan penting dalam peran bank sentral dalam menangani krisis keuangan. Overend and Gurney merupakan bank diskon yang menyediakan uang bagi bank komersil dan ritel di London, pusat keuangan dunia saat itu. Saat bank itu menyatakan bankrut pada 1866, banyak bank yang lebih kecil tidak bisa memperoleh dana dan turut bangkrut, meski mereka memiliki solvabilitas. Bank of EnglandAkibatnya, reformis seperti Walter Bagehot menyerukan peran baru bagi Bank of England sebagai "lender of last resort" untuk menyediakan likuiditas (cash) ke sistem kuangan selama krisis, guna mencegah kejatuhan satu bank yang akan berefek pada yang lainnya (kegagalan sistemik). Doktrin baru itu diterapkan pada Krisis Barings pada 1890, ketika kerugian yang dialami bank ternama Inggris, Barings, mengalami kerugian investasi di Argentina, dan ditalangi oleh Bank of England untuk mencegah kebangkrutan sistemik pada perbankan Inggris. Negosiasi rahasia oleh Bank of England dan para pelaku keuangan di London memunculkan kesepakatan dana penyelamatan pada November 1890, sebelum jumlah kerugian Barings diketahui publik. (jri) okezone

Tidak ada komentar: