Darth Vader vs. Master Yoda: The Greatest Battle

MASIH ingatkah Anda akan tulisan saya terdahulu tentang film “Star Wars”? Film “Star Wars” memang bisa jadi ilustrasi bahwa di era New Wave Marketing yang seperti galaksi tanpa batas ini, kemenangan pada akhirnya bukan selalu berada di pihak yang penampilan luarnya tampak unggul. Seseorang bisa saja punya physical quotient (PQ) yang tinggi. Ia rajin menjaga kesehatan dan kebugaran tubuhnya dengan berolahraga dan melakukan diet. Namun, bukan berarti orang dengan PQ tinggi itu selalu bisa jadi pemenang.

Lihat saja di film “Star Wars” itu. Tokoh antagonisnya, Darth Vader, secara fisik tampak jauh lebih unggul. Badannya tinggi besar. Ia kelihatan sangat kuat dengan memakai baju dan topeng baja hitamnya. Sedangkan tokoh baiknya, Master Yoda, secara fisik sangat kecil dan bertampang jelek. Penampilannya sangat tidak meyakinkan, tidak nampak seperti seorang jagoan.
Namun, bisa kita lihat bahwa Master Yoda punya keunggulan lain dibanding Darth Vader di luar aspek PQ tadi. Keunggulan ini terletak pada aspek intelijensi emosional (EQ) dan intelijensi spiritual (SQ) si Master Yoda. Kalau soal IQ, kedua tokoh ini bisa dibilang relatif seimbang. Mereka sama-sama pintar dan brilian. Sementara dalam soal EQ, Master Yoda lebih unggul.
EQ memang lebih penting ketimbang IQ untuk mencapai kesuksesan. Dalam buku larisnya, Emotional Intelligence, Daniel Goleman mengatakan bahwa seseorang dengan EQ yang tinggi memiliki kemampuan untuk memahami dirinya sendiri dan juga memahami orang lain. Dalam memahami dirinya, orang itu bisa mengetahui dan mengelola emosinya sendiri, serta kemudian memotivasi dirinya sendiri. Sementara terhadap orang lain ia juga bisa mengenali, memahami, dan mengelola emosi orang lain tersebut sehingga bisa menjalin relasi yang sehat dengan banyak orang.
Kembali ke film “Star Wars”. Master Yoda itu sangat tinggi EQ-nya dibandingkan Darth Vader. Bisa kita lihat bagaimana Master Yoda dengan penuh kesabaran membimbing Luke Skywalker untuk bisa menggunakan kekuatannya (“the force”) dengan sebaik-baiknya, sehingga Luke pun akhirnya bisa mandiri dan tidak semena-mena memanfaatkan kekuatannya ini. Sementara Darth Vader alias Anakin Skywalker tidak bisa mengelola emosinya sendiri sehingga jadi arogan dan jatuh ke dunia hitam (“Dark Side”). Ia malah menggunakan kekuatannya itu untuk melawan para gurunya sendiri, Master Yoda dan Obi-Wan Kenobi.
Bisa kita lihat bagaimana pengaruh EQ ini dalam membentuk pribadi seseorang. Dan pada akhirnya, yang paling menentukan adalah SQ. SQ ini bukan berarti soal agama saja. Bukan semata soal ajaran-ajaran yang bersifat vertikal antara manusia dan Tuhannya. SQ ini berupa nilai-nilai (values) yang sifatnya universal, seperti soal humanisme dan perilaku luhur. Nilai-nilai yang horisontal ini bisa berasal dari agama atau keyakinan mana saja.
Danah Zohar and Ian Marshall dalam bukunya Spiritual Capital: Wealth We Can Live By mengatakan bahwa SQ ini menyangkut makna, tujuan, dan motivasi tertinggi dan hakiki dari hidup seseorang. SQ inilah yang merupakan keunggulan utama seorang manusia. Komputer bisa punya IQ yang tinggi. Binatang juga kadang punya EQ yang tinggi. Namun hanya manusialah yang punya SQ. Hanya manusialah yang punya kemampuan untuk berpikir dan bertindak kreatif, mengubah situasi menjadi lebih baik, dan bisa bertanya tentang makna hidupnya. Kalau IQ menyangkut apa yang dipikirkan seseorang (“what I think”) dan EQ menyangkut apa yang dirasakan seseorang (“what I feel”), SQ ini menyangkut siapa orang itu sebenarnya (“what I am”).
Di film “Star Wars”, soal SQ ini bisa digambarkan pada adegan sejumlah pertempuran, yaitu ketika Anakin Skywalker melawan mentornya sendiri, Obi-Wan Kenobi, dan ketika Anakin Skywalker yang sudah berubah menjadi Darth Vader melawan anaknya sendiri, Luke Skywalker. Adegan-adegan tersebut sangat mengharukan serta menguras emosi dan perasaan kita, karena tokoh protagonisnya harus mempertahankan nilai-nilai baik walaupun itu berarti ia harus melawan orang terdekat dan paling disayanginya, yang kebetulan punya nilai-nilai buruk.
Nah, lanskap New Wave ini seperti galaksi di Star Wars. Lanskap ini tanpa batas dan tanpa aturan yang jelas. Tidak ada satu pemerintahan yang bisa benar-benar berkuasa dan mendominasi dunia. Bahkan negara adidaya seperti Amerika yang punya teknologi sangat canggih pun sering tidak bisa berbuat apa-apa dan justru saat ini sedang terpuruk kondisinya.
Jadi, percayalah. Seperti sudah saya singgung kemarin, pemenang dalam era New Wave Marketing ini adalah orang yang bukan sekadar Connected alias punya IQ bagus dan bisa jadi Catalyst atau punya EQ tinggi. Namun, yang paling penting adalah mereka yang Civilised alias punya SQ yang tinggi.
--- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --
Hermawan Kartajaya

Tidak ada komentar: